Pages

2013/01/09

ParkirMan Berbaju Orange

Sudah beberapa bulan aku di sini, aku selalu melihatnya. Entah sejak pukul berapa dia datang, yang jelas setiap aku datang dia sudah lengkap dengan atributnya. Aku tidak tahu apakah itu memang seragam profesinya dan ada berapa helai di rumahnya, yang jelas setiap hari dia selalu mengenakan baju orange, topi lebar (entah apa itu namanya), handuk kecil berwarna putih yang dilingkarkan di leher dan sepasang sepatu butut.

Aku yakin, pekerjaan itu bukan cita-cita masa kecilnya. Bahkan sampai sekarang pun, ini bukan pekerjaan yang diidam-idamkannya.  Lalu kenapa dia harus menggeluti pekerjaan itu? Terpaksa oleh keadaan. Yah, pasti itu jawabannya. Mungkin saja di rumah dia tidak hanya menafkahi dirinya sendiri, ada orang lain, entah itu orang tuanya, istrinya, anak-anaknya atau saudaranya. Yang jelas dia bekerja hanya untuk menyambung hidup.

Aku paling malas berjalan ke luar kantor saat tengah hari. Panasnya luar biasa. Aku lebih memilih mencari makan di dekat kantor saja, sederet dengan gedung kantorku, agar aku bisa berjalan di bawah teras gedung-gedung itu. Yah, supaya aku tidak terkena panas.

Mataku terseret pada pria berbaju orange yang kerap kulihat ini. Tiba-tiba ada yang berbisik di pikiranku, “Dia tidak seberuntung kamu”. Kalimat itu memberatkan langkahku, sontak memenuhi setiap sel sarafku. Aku malu dengan gerutu-gerutuku sebelumnya pada terik matahari, pada kemalasanku mencari makan ke luar kantor karena panas yang kutakut akan membakar kulitku. Ah, kalimat itu memukul kesombonganku.

Aku malu pada pandangan di depan mataku. Dia tidak menggerutu pada panas, dia tidak takut kulitnya terbakar karena terik. Dia mencari makan tidak segampang yang aku lakukan, berjalan di pinggiran gedung sekitar 4-5 meter, memesan, memakan dan membayar. Dia mencari makan dengan suara ditemani terik matahari. “Lagi lagi bro” hehe…kalimat itu sudah akrab di telingaku.

Belum lagi kalau hujan, badai sekalipun tak mengurung tekadnya untuk mencari lembar-lembar ribuan demi menyambung kehidupan seisi gubuknya. Basah dengan payung dan mantelpun sudah biasa, yang penting nanti saat dia pulang ada harapan yang dibawanya bahwa besok dapur mereka akan tetap berasap.
Terima kasih Parkir Man Berbaju Orange, aku dapat belajar dari kisahmu. Tentang perjuangan yang membuat aku harus melupakan gerutu-gerutuku pada keadaan. Tentang keikhlasan yang membuatku harus bersyukur. Tentang tanggung jawab pada kehidupannya dan orang-orang di rumahnya. Tentang harapan sekalipun kehidupannya tak seindah impiannya. Tentang keyakinan pada usaha yang tidak pernah dipandang sia-sia oleh Tuhan.

No comments:

Post a Comment