Pages

2013/02/27

Ketemu Cowok Ganteng Setelah Berstatus "Bertunangan"

Dilarang keras hanya membaca judul di atas tanpa membaca cerita di bawah ini. Saya yakin, saat pertama membaca judulnya saja, akan timbul “negative thinking” di benak para reader. So, baca cerita selengkapnya ya.
Akhirnya saya temukan tempat yang tepat untuk merefresh otak yang penat setelah setengah hari di depan laptop. Menghabiskan sisa jam makan siang, saya putuskan untuk berkunjung ke Gramedia yang kebetulan tidak jauh dari kantor. Selalu ada hal menarik yang saya dapatkan sepulang dari sana, banyak buku-buku yang menginspirasi  sehingga saya terdorong untuk menulis “What I Think”. Namun kali ini bukan buku yang mendorong saya menulis.
Saat ini saya berstatus telah bertunangan dengan seorang pria, yang sampai saat ini dipilihkan Tuhan buat saya. Saya berharap sampai pada waktunya nanti dia adalah pilihan Tuhan sebagai pemilik tulang rusuk ini. Sudah pasti saya terikat dengan status itu dan tidak boleh lagi menyukai, menyayangai, mengidam-idamkan atau mencari pria lain. Saya tahu akan aturan itu dan saya taat, bukan terpaksa karena terikat status, tapi karena memang saya tidak punya hati lagi untuk dibagi.
Jadi cerita ini, bukan saya naksir pria lain atau bahkan saya bermain hati. Sekali lagi, bukan. Saya hanya ketemu dengan cowok yang dalam “pandangan mata” saya ganteng. Itu saja. Oopss tunangan saya juga ganteng koq, hehehe…
Masuk ke Gramedia, saya langsung ke lantai dua dan  stop di stand buku-buku baru. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sesosok pria yang kebetulan juga sedang memandang ke arah saya. Untuk parasnya, saya acungkan jempol. Untuk yang lain-lain, saya tidak bisa menilai karena memang hanya bertemu seperti itu saja, dan memang saya tidak ingin tahu. Tapi lucunya, bukan Ge-eR  ya, saya rasa dia “tepe-tepe” alias tebar pesona ke saya. Mondar-mandir gak jelas di stand buku baru tempat saya sedang membaca sambil melirik-lirik. Bahkan temannya yang sedang membayar di kasir, yang kebetulan tidak jauh dari stand itu memanggil-manggil namun tak dihiraukannya. Saya memang tidak terlalu memperhatikan gerak-geriknya karena saya tahu dia sedang melirik-lirik. Jangan-jangan nanti dia ke-Ge-eR-an, ahahaha…. Saya tertawa geli dalam hati.
Dulu saat masih berstatus single, apalagi zaman sekolah atau kuliah, moment seperti ini wajib saya ceritakan ke teman-teman. Bagaimana detil pertemuannya dan tentang kegantengan pria itu. Saya akan sangat puas saat melihat wajah penasaran mereka. Apalagi kalau saat itu saya bersama seorang teman yang kebetulan ngebet banget dengan yang namanya cowok ganteng, maka  dia akan menyeret saya dekat-dekat si cowok sambil balas tepe-tepe.  Itu akan menjadi moment menggelikan tapi seru dan setelah sadar, itu cukup memalukan hihihihi….
Eits..jangan pikir negative ya. Cuma itu saja koq, kami tetap menjaga kodrat sebagai wanita bermartabat dan berpendidikan, cieee…. It is just for have fun, not more.
Tapi sekarang tidak begitu. Sekali lagi bukan karena terikat status. Menyadari keadaan itu, saya memilih untuk pindah ke stand lain. Ternyata kegantengannya tidak menggoyahkan saya.  Alasannya karena saya tidak anak sekolahan atau kuliahan lagi, tidak single lagi, dan tidak punya hati lagi untuk dibagi, horeee…..berhasil berhasil berhasil…(dora@mode.on)
Pelajaran dari moment ini :
·        Cinta itu bukan soal paras
·        Hati yang dijaga tidak akan goyah karena paras
·        Wanita/pria yang tidak goyah karena paras adalah kaum setia sekaligus bermartabat
Pesan dari moment ini :
Jika saat ini kita telah memiliki orang yang akan atau telah ditetapkan Tuhan sebagai belahan jiwa, setialah. Karena tidak ada yang lebih baik dari apa yang ditetapkan oleh Tuhan.

2013/02/21

Cinta di Batas Ruang

Saat aku mulai menepi  seperti terseret di batas,
Ruang di seberang itu tampak seolah dekat,
Aku tak bisa melihatnya lekat-lekat,
Tapi aku bermain dengan jiwanya sampai ke tepian ruang.

Tepian itu menjadi tempat peraduan rindu,
Ketika rindu mengejar terlalu cepat,
Aku berlari menepi menutup mata,
Ku bisikkan dia yang di seberang.

Entah mengapa aku tak lelah kali ini,
Mungkin karena dia selalu terlihat setiap aku menepi,
Entah juga aku tak jenuh berkali-kali,
Seretan ke batas itu terlalu kuat.

Sampai ruang ini tak lagi berbatas,
Aku tak  kan lelah ke tepian,
Sampai kekuatan seretan itu aku nikmati,
Berdua dalam satu ruang
 

2013/02/20

Kegalauan Anak Gadis

Rasanya baru kemarin kami bercengkerama,
bergelimang asap dapur,
gulai kami bumbui dengan asa berdua,
di bangku kayu itu aku melihat harapan di wajah tuanya.

Atap dapur kutatap lekat-lekat,
entah seperti apa atap yang aku tatap nanti,
mungkin tanpa dia di atas bangku.

Aku masih disini dengan dia di atas bangku,
sampai jalan habis memakan waktu,
kusembunyikan bening yang menyesak di sudut mata,
kubiarkan dia memandangku dengan keyakinan bahagia.

Aku bisa mendengar doa yang membumbui setiap adukan gulainya,
untukku yang masih di samping bangku kayunya,
aku lihat kegamangannya yang akan sendiri,
aku juga begitu..........
semoga dia tidak tahu,
sekalipun sebenarnya dia tahu
kegalauan anak gadis

2013/02/19

It is OK to be Wrong

"It is ok to be wrong", kalimat ini saya kutip dari buku yang baru saja saya baca, 101 Creative Notes karangan Yoris Sebastian. Buku itu berisikan tips agar kita bisa menjadi kreatif, tetap kreatif, lebih kreatif serta menghilangkan borring yang bisa menghambat kreativitas. Dari 101 tips yang diberi, saya suka dengan yang satu ini.

Ingatan saya langsung kembali pada belasan tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya bersyukur, dulu sering mendapat nilai seratus. Nilai seratus itu memotivasi saya untuk belajar lebih giat agar terus mengantongi angka emas itu. Untuk setiap soal yang diberikan, saya selalu berusaha benar. Jika ada kesalahan yang membuat saya gagal mengantongi nilai 100, itu membuat saya sangat menyesali kesalahan itu. Hhmm...saya takut salah.

Ternyata ada dampak negatif, jika kita membiarkan si "anak" memiliki rasa takut salah. Dalam konteks ini bukan berarti membuat kesalahan yang merugikan orang lain, tetapi rasa takut jika menjadi tidak perfect. Si anak akan takut untuk mencoba hal-hal baru, akhirnya si anak akan sulit untuk menjadi kreatif.

Saya juga sering menemukan orang tua yang menuntut anaknya mendapatkan nilai sempurna. Bahkan dulu pernah ada seorang siswa yang menangis tidak mau pulang karena nilai ulangannya hari itu 70. Ketika saya bertanya akan hal itu, si anak menjawab " nanti mama saya akan marah di rumah, karena saya tidak dapat nilai 100". Parahnya lagi, pernah juga dia meminta saya untuk memberinya nilai seratus. "Bu..kemarin saya dipukul mama karena nilai saya 50, hari ini kasih saya nilai 100 lagi ya Bu, supayaa tidak dipukul lagi"

Saya melakukan pendekatan kepada orang tuanya. Si Ibu membenarkan cerita anaknya, dia memang menginginkan anaknya mendapat nilai bagus di sekolah, dengan dalih supaya anaknya pintar dan kelak kehidupan anaknya lebih baik dari pada dirinya yang hanya pedangang mie. Dengan bangga si Ibu menceritakan ketegasan yang dibuatnya untuk anaknya. "Pulang sekolah, saya suruh dia ganti baju dan makan, kemudian langsung kerjakan PR dan belajar. Sekali-sekali saya intip dia, kalau-kalau dia tidak belajar atau malah ketiduran. Kalau ketiduran, awas saja dia akan terima....dari saya". Saya kaget mendengar cerita itu, "jadi Ibu dimana saat dia belajar?" "Ya saya di warung depan, kan jualan mie" jawab si ibu dengan entengnya.

Saya tersenyum hambar, jadi anak usia 7 tahun itu dituntut nilai sempurna tanpa didampingi belajar oleh orang tuanya. Bisa dimaklumi memang, kondisi keluargaanya sehingga dia tidak punya banyak waktu untuk mendampingi anaknya, atau membayar les untuk anaknya. Tapi setidaknya dia punya waktu dan perhatian sedikit dan tidak perlu menuntut sesempurna itu. Akhirnya si anak selalu takut jika diberi soal-soal.

Lain lagi dengan seorang anak yang memang terlahir dari keluarga kaya. Si orang tua telah menanamkan cita-cita tinggi pada anaknya, sehingga anaknya mau tidak mau, harus lebih pintar dari yang lain. Si anak tidak punya waktu bermain, karena telah habis untuk sekolah dan les. Orang tuanya merasa berhak menyalahkan si anak, jika tidak mendapatkan nilai 100, karena si anak sudah belajar dengan sangat maksimal. Si anak jadi tidak bisa menerima kesalahan yang membuat nilainya kurang dari 100.

Mindset itu akan sangat merugikan jika tetap tertanam sampai dewasa. Terlalu banyak hal-hal baru saat ini yang bisa kita coba untuk meningkatkan kualitas hidup. Kalau tidak dicoba, kita tidak akan pernah mendapatkannya.


Jika kita adalah pendidik, tanamkan pikiran untuk terus mencoba menjadi lebih baik pada si anak, bukan harus sempurna.

Jika kita adalah orang tua, jangan tuntut anak menjadi sempurna, tapi katakan bahwa kita akan bangga jika mereka terus berusaha untuk menjadi lebih baik.

Jika kita adalah anak yang terlanjur memiliki mindset "takut salah", tanamkan di pikiran bahwa "nobody is perfect" tapi ada pilihan untuk "menjadi lebih baik"

Jika kita adalah orang yang "it is ok to be wrong", lanjutkan dan selamat berkreativitas !

2013/02/13

Sang Madam

(Dari Kisah Seorang Wanita)

Kali ini tentang wanita lain.

Saya tidak tahu banyak tentang latar belakang keluarganya atau kehidupannya sebelum saya mengenalnya. Yang saya tahu, saat saya mengenalnya dia adalah seorang wanita tua berusia di atas 55 tahun. Dia dosen kami,seorang pendidik yang dikenal killer dan menakutkan buat sebagian besar mahasiswa. Di usianya yang sudah senja, dia masih single.

Dia pasti orang pintar, itu yang ada dalam pikiran saya sampai saat ini. Berhasil meraih gelar Profesor di Jerman, itu kebanggaan buatnya. Dengan meneliti ovarium lebah, ia menambahkan nama pemberian orang tuanya menjadi Prof. Dr. rer. nat, hmm..nama yang bergengsi. Nama itu juga yang menempatkannya pada posisi anggota senat di universitas.

Dengan memegang mata kuliah bergengsi seperti Fisiologi Hewan, Biokimia, Endokrinologi, Bioteknologi, keunggulannya menjadi tersohor terutama bagi mahasiswa-mahasiswi baru, yah seperti saya dulu.

Saya sempat terobsesi dengan beliau, wanita yang luar biasa, begitu batin saya berkata. Tapi akhirnya saya tahu, dia tidak sebahagia yang saya bayangkan. Di masa tua dan penyakit mulai menjadi teman, dia harus tinggal seorang diri. Yang saya dengar, saudara-saudaranya tinggal di luar kota. Dia punya seorang anak angkat, tapi sayang perhatian yang diberikan untuk ibu angkatnya itu tidak setimpal dengan tanggung jawab materi yang diberikan Sang Madam untuknya. Begitu yang saya dengar.

Sempat saya mendengar tentang rumor masa lalunya. Dia primadona di universitas yang sama dengan saya. Cantik dan pintar, siapa laki-laki yang tidak tertarik dengannya, seharusnya begitu. Tapi, mungkin kelebihan itu yang menjatuhkannya pada kesombongan, hehe seperti sinetron. Entah bagaimana persis alur cerita cintanya, dia patah hati pada seorang pria sampai akhirnya memilih untuk menutup pintu hati. Itulah sebabnya sampai saat ini, dia tidak mendampingi siapa-siapa.

Ternyata keadaan seperti itu, mempengaruhi kehidupannya. Dia menjadi orang yang tertutup dan terkesan mempertahankan predikat emas masa lalunya, itu yang tampak dari luar. Iya lebih memilih menghabiskan waktu di labor seorang diri, dari pada bercengkrama dengan sesama dosen, apalagi dengan kami mahasiswa. Ia begitu asing bagi kami.

Tapi ternyata, dibalik semua itu, beliau tetap seorang wanita lemah yang butuh perlindungan, seorang ibu tua yang butuh perhatian, seorang teman yang juga rindu sapaan hangat sekalipun dia terkadang sering bersembunyi di balik topeng kemegahannya. Saya menyadarinya setelah sering menemuinya di labor dulu.

Ternyata dia senang dengan kado, paling senang lagi jika kami duduk di dekatnya dan mendengarkan cerita pada masa emasnya dulu. Hmm...dia butuh teman dan perhatian. Sempat heran, tumben beliau mau bercerita begitu terbuka kepada kami, ternyata dia sama dengan kami, juga butuh teman. Sayangnya, dia sudah terlanjur membuat tembok pemisah dari dirinya, sehingga orang lain enggan menghampirinya, takut tidak sampai atau tidak diterima.

Kami tertawa geli, ketika kembali menceritakan kisahnya dengan teman. Ooo...ternyata begitu ya...ooo...gak nyangka ya..

Palajaran hidup saya dapatkan dari kisah ini. Sehebat apapun kita, setinggi apapun kita, kita tidak akan pernah hidup tanpa orang lain. Dari merekalah kita dapat kebahagian dan kepuasan hidup, lewat saling berbagi, saling mendukung, saling mengasihi.

Tetap pertahankan mereka yang sudah ada dalam hidupmu, karena kehilangan satu dari mereka mungkin saja akan menghilangkan satu kebahagiaanmu.

2013/02/07

Sebuah Nama Untuk Teman

Saya sering tersenyum-senyum kasihan saat mendengar dia dipanggil dengan nama itu. Lucu sih, tapi kasihan aja, apalagi melihat wajahnya yang lugu (menurut penampakan saya dari luar sih) yang menyahut atas panggilan itu. “GABOD alias Gadang Bodoh, bahasanya berasal dari daerah Padang yang berarti sudah besar, tapi bodoh.
Dia karyawan baru di kantor, kami beda divisi, tapi karena satu payung alias satu perusahaan tambah lagi satu kantor, kami saling mengenal. Teman-teman di kantor sering memanggilnya begitu, parahnya lagi sopir untuk divisi saya pun ikut-ikutan. Handehhhh….ingin rasanya saya menegurnya, tapi ya sudahlah, saya takut orangnya tersinggung, toh yang bersangkutan juga tidak keberatan. Tapi kalau saya, pasti tidak terima dipanggil dengan nama itu. Orang tua kasih nama bagus-bagus koq malah diganti jelek begitu, ckckckckck.
Saya jadi ingat dengan seorang teman waktu kuliah. Entah siapa yang memulai nama itu, saya juga tidak ingat sejak kapan panggilannya jadi berubah, hampir semua teman memanggilnya begitu. Parahnya lagi, dia perempuan. Ah, padahal perempuan itu punya perasaan lebih sensitive dibanding laki-laki.
Saya pernah dengan sengaja memperhatikan raut wajahnya saat sedang berbicara dengan teman-teman dan dipanggil begitu. Feeling saya sih, ada rasa iba di matanya karena digelari begitu. Tapi dia tetap enjoy, mungkin dia takut yang lain menganggapnya “belagu” kalau marah, jadi dia berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya dipanggil begitu. Dia takut kehilangan teman-temannya. Saya yakin kalau ditanya dari hati ke hati, dia pasti akan lebih senang dan dihargai jika dipanggil dengan nama pemberian orang tuanya.
Saya juga pernah mengomentari seorang teman, saya lupa siapa dan kapan, tentang panggilan untuknya itu, saya cuma direspon dengan tertawa. Tapi saya tahu, di lubuk hati dan di dasar pikiran teman itu ada rasa bersalah dan tidak enak hati, karena menamainya sejelek itu. Tapi mungkin karena telah terbiasa, jadi agak susah mengubahnya kembali dan tetaplah panggilan untuknya seperti itu.
Yah, itu karena telah terbiasa. Padahal untuk memanggilnya dari nama asli menjadi nama baru itu, juga perlu pembiasaan kan? Pasti awalnya kita juga susah memanggilnya dengan nama itu, tapi karena dibiasakan akhirnya, yah terbiasa. Jadi tidak sulit kan, membiasakan diri memanggilnya kembali dengan nama asli ?
Nama itu adalah doa dari orang tua untuk anaknya, doa yang terpanjatkan sepanjang hayat. Tegakah kita mengobrak-abrik doa mereka?
Nama itu adalah jati diri seseorang. Tegakah kita menjatuhkan jati diri seseorang yang kita sebut teman?
***Hanya untuk perenungan***