Pages

2013/01/22

Aku, Peri Kecilmu


Teringat sayap kecil yang mereka taruh di punggungku,
rasanya baru kemarin aku menari-nari kecil,
dan mereka tersenyum kegelian,
kini aku sudah tinggi.

Ingin saja kupatahkan sayap ini,
dan tetap menjadi peri kecil,
tapi ukiran pada rona-rona sayap adalah harapan mereka
sekalipun aku tinggi dan harus terbang.

Aku melihat kegalauan di balik keriput,
Saat aku berkata "aku mau terbang"
Dengan menggenggam jemari mereka berkata,
"ya, terbanglah lebih jauh dan menarilah di sana"

Aku remuk melihat wajah-wajah sayu itu,
yang selalu kulihat setiap aku bangun,
ah..mungkin nanti aku tidak melihatnya sesering ini.

Saat nanti aku akan benar-benar terbang,
aku tahu jemari mereka genggam di dada,
hanya punggung dan sayap kabur yang terlihat dari jauh,
tapi rindu mereka, mengenaliku.

Sekalipun tarianku tidak lagi di depan mereka,
tapi lihatlah rona sayap itu akan kupantulkan di langit rindu,
ukiran itu akan semakin cantik dan cetar,
akan ku buat senyum mereka lebih lebar,
dan berkata "itu peri kecilku dulu"

With Love,

Your daughter
Mom & Dad

2013/01/09

ParkirMan Berbaju Orange

Sudah beberapa bulan aku di sini, aku selalu melihatnya. Entah sejak pukul berapa dia datang, yang jelas setiap aku datang dia sudah lengkap dengan atributnya. Aku tidak tahu apakah itu memang seragam profesinya dan ada berapa helai di rumahnya, yang jelas setiap hari dia selalu mengenakan baju orange, topi lebar (entah apa itu namanya), handuk kecil berwarna putih yang dilingkarkan di leher dan sepasang sepatu butut.

Aku yakin, pekerjaan itu bukan cita-cita masa kecilnya. Bahkan sampai sekarang pun, ini bukan pekerjaan yang diidam-idamkannya.  Lalu kenapa dia harus menggeluti pekerjaan itu? Terpaksa oleh keadaan. Yah, pasti itu jawabannya. Mungkin saja di rumah dia tidak hanya menafkahi dirinya sendiri, ada orang lain, entah itu orang tuanya, istrinya, anak-anaknya atau saudaranya. Yang jelas dia bekerja hanya untuk menyambung hidup.

Aku paling malas berjalan ke luar kantor saat tengah hari. Panasnya luar biasa. Aku lebih memilih mencari makan di dekat kantor saja, sederet dengan gedung kantorku, agar aku bisa berjalan di bawah teras gedung-gedung itu. Yah, supaya aku tidak terkena panas.

Mataku terseret pada pria berbaju orange yang kerap kulihat ini. Tiba-tiba ada yang berbisik di pikiranku, “Dia tidak seberuntung kamu”. Kalimat itu memberatkan langkahku, sontak memenuhi setiap sel sarafku. Aku malu dengan gerutu-gerutuku sebelumnya pada terik matahari, pada kemalasanku mencari makan ke luar kantor karena panas yang kutakut akan membakar kulitku. Ah, kalimat itu memukul kesombonganku.

Aku malu pada pandangan di depan mataku. Dia tidak menggerutu pada panas, dia tidak takut kulitnya terbakar karena terik. Dia mencari makan tidak segampang yang aku lakukan, berjalan di pinggiran gedung sekitar 4-5 meter, memesan, memakan dan membayar. Dia mencari makan dengan suara ditemani terik matahari. “Lagi lagi bro” hehe…kalimat itu sudah akrab di telingaku.

Belum lagi kalau hujan, badai sekalipun tak mengurung tekadnya untuk mencari lembar-lembar ribuan demi menyambung kehidupan seisi gubuknya. Basah dengan payung dan mantelpun sudah biasa, yang penting nanti saat dia pulang ada harapan yang dibawanya bahwa besok dapur mereka akan tetap berasap.
Terima kasih Parkir Man Berbaju Orange, aku dapat belajar dari kisahmu. Tentang perjuangan yang membuat aku harus melupakan gerutu-gerutuku pada keadaan. Tentang keikhlasan yang membuatku harus bersyukur. Tentang tanggung jawab pada kehidupannya dan orang-orang di rumahnya. Tentang harapan sekalipun kehidupannya tak seindah impiannya. Tentang keyakinan pada usaha yang tidak pernah dipandang sia-sia oleh Tuhan.

Hari Ini Saya Tertolong

Seperti biasa pagi ini saya datang ke kantor, siap melaksanakan aktivitas seperti biasa tanpa ada feeling akan terjadi sesuatu hal dengan laptop saya. Sampai saya membuka aplikasi yang biasa digunakan dan menemukan ada yang beda pada aplikasi itu dari biasanya. Parahnya lagi, aplikasi itu tidak bisa terbuka.

Dengan sedikit cemas namun berusaha untuk tetap tenang, saya berusaha mencari tahu dan melakukan apa yang saya tahu tentang aplikasi ini. Huufffftt,,,,,pengetahuan saya tentang ini benar-benar minim, saya juga bukan orang yang good soal IT. Alhasil, saya panik dan seperti biasa mulai berucap "Tuhan, tolong Tuhan" puluhan kali.

Saya tidak tahu, mungkin saja ada orang yang beranggapan bahwa ucapan-ucapan seperti itu hanyalah "ucapan gak penting, buat panikan aja, atau menyatakan kepasrahan". Tapi buat saya itu doa yang dari orang yang sedang membutuhkan pertolongan Tuhan. Dan hasilnya saya rasakan hari ini, bukan karena ucapan itu mujarab, tapi karena ucapan sederhana itu didengar oleh Tuhan.

Dalam kepanikan, kalimat-kalimat itu terus terlontar bak mantra dari mulut saya sambil berusaha mengklik apa yang menurut saya benar. Karena saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan pada laptop itu. Antara yakin dan tidak, saya mengklik apa yang menurut saya benar, sampai akhirnya pada keputusan terakhir untuk restore. OK. Saya menunggu cukup lama, entah apa yang terjadi setelah saya klik itu. Terlintas di pikiran saya, jangan-jangan keadaannya justru makin parah dan laptop maupun aplikasi ini tidak dapat digunakan lagi. Bagaimana saya mengerjakan pekerjaan saya ? Dimana saya bertanya dan memperbaikinya ? Saya akan dimarahi. Oh tidak, bisa-bisa saya akan dipecat, kalau-kalau datanya hilang atau..................................................... Begitu banyak pikiran-pikiran menakutkan yang muncul menjelang menunggu.

Oh.....Tuhan itu benar-benar baik. Setelah lama menunggu, akhirnya keadaan kembali seperti semula, aplikasinya dapat digunakan kembali dan saya dapat mengerjakan pekerjaan seperti biasanya. Saya benar-benar tertolong hari ini. Padahal saya tidak mengerti apa-apa, jangankan cara memulihkannya, apa masalahnya pada aplikasi itu saja saya tidak mengerti. Tapi dalam ketidakmengertian dan ketidaktahuan saya, Tuhan bekerja menolong saya. Luar biasa !

Mungkin kita sering melakukan hal seperti ini. Di saat panik kita sering mengucapkan kalimat-kalimat yang menyatakan kepanikan dan ketidakberdayaan. Yah, seperti saya dengan ucapan "Tuhan, tolong Tuhan". Ternyata dalam ucapan itu ada kekuatan apabila diucapkan dengan yakin dan tulus, bukan sekedar bumbu kepanikan saja. Saat kita terjepit dan panik, lalu mengingat Tuhan, berarti kita meyakini Tuhan sanggup menolong kita. Tuhan senang diingat dan diyakini, makanya Dia mendengar ucapan itu dan segera menolong tepat waktu. Yah, seperti hari ini Tuhan menolong saya, tidak terlambat.

Ingatlah Tuhan dalam segala keadaan.
Jika kita sedang kesusahan, Dia sanggup memulihkan keadaan.
Jika kita dalam suka cita, Dia yang memberikan keadaan itu.

Terima kasih Tuhan.

2013/01/04

Mengubah Impian

(Dari kisah seorang wanita)
Setiap orang pasti memiliki impian. Orang yang sudah tidak punya impian, berarti sudah tidak ingin melanjutkan hidup atau pesimis pada kehidupannya sendiri. Jadi selagi masih ada nafas, memiliki impian itu adalah hal yang wajar. Bahkan impian bisa menjadi motivasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi. Dalam dunia marketing, katanya “Achievement”.
Bercerita tentang impian wanita, saya kembali tertarik dengan kisah sahabat wanita ini. Impian itu adalah bagian dari dirinya. Bersahabat dengannya, membuat saya tahu sebagian dari impiannya sekaligus menambah pelajaran akan hidup.

Impiannya tentang cita, memang dia tidak pernah bercerita detil. Tapi saya tahu ada impian yang dikurung dalam hatinya. Hhmmm…seandainya saja dia lebih berani bercerita tentang itu, mungkin saja dia akan menemukan jalan. Dia bukan wanita yang tidak punya kelebihan, bahkan saya menemukan banyak kelebihan dalam dirinya. Hehe…jujur saya katakan, sepertinya dia terlalu takut dengan kekurangannya, yang sebenarnya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kelebihan yang dianugrahkan Sang Pencipta untuknya.
Saya tidak tahu, apakah dia pernah membuat daftar apa saja yang telah sanggup dilakukannya selama ini. Kalau saja dia melakukannya, harusnya dia bersyukur dan segera melupakan kekurangan yang menghantuinya.
Saya juga tidak tahu, apakah dia pernah mengingat semua ucapan selamat atau pujian sederhana atas sesuatu yang dicapainya. Kalau saja dia melakukannya, harusnya dia bangga pada dirinya sendiri dan mengenyampingkan kekuranggan yang menakutinya.
Entah dia pernah menyimpan setiap kritikan yang ditujukan buatnya. Kalau saja dia melakukannya, harusnya itu jadi cambuk bukan kesedihan yang membuatnya jatuh dan berani mencoba lagi.
Dia tidak pernah bercerita, apakah dia pernah curhat kepada Penciptanya tentang Impiannya itu. Kalau dia melakukannya, harusnya dia yakin bahwa usaha yang dilakukannya tidak akan sia-sia.
Karena Impian yang didoakan akan berubah menjadi Harapan
Harapan yang digantung pada Pencipta itu akan menjadi Kenyataan yang Baik
Tanpa kita sadari, terkadang kita seperti ini. Kekurangan yang kita sadari, kita pandang seperti tembok yang menghalangi impian yang mungkin saja, sebenarnya ada persis di balik tembok itu. Kalaupun kita tidak bisa menghancurkannya, kita punya kelebihan yang bisa dijadikan batu loncat untuk melewatinya dan menemui impian itu.
Karena Tuhan itu adil, DIA memberi kekurangan sepaket dengan kelebihan.

Mimpi Di Balik Kebaya

Mimpi di balik kebaya adalah alasannya,
Langit luas di luar rumah terlalu biru untuk kebayanya,
Tapi tak menyempitkan langkah untuk berlari,
Mengejar matahari yang bergerak cepat senja itu,

Tembok rumah yang kokoh
Tak menghalangi pandangan pada mimpi-mimpi sebelumnya,
Mimpi untuk setiap jahitan kebayanya,
Ketika di dapur, ketika di meja makan, ketika di tempat tidur

Memang malam menggantikan senja,
Saat itu dia menyulam mimpi,
Dengan doa-doa yang basah
Hingga esok pagi terbitlah terang

Dan ketika pagi dihadiahkan Pencipta untuknya
Dia dengan kebayanya
Bukan lagi bermimpi

Apik langkahnya dengan kebaya,
Menjadikannya wanita anggun yang hebat,
Decak kagum untuknya,
Bukan karena hebat mimpinya, atau hanya karena kebayanya
Tapi karena Mimpi yang dicapai bersama kebayanya.

**
Teruslah menggapai impian
Dan tetaplah menjadi wanita yang layak dikagumi