Pages

2013/02/19

It is OK to be Wrong

"It is ok to be wrong", kalimat ini saya kutip dari buku yang baru saja saya baca, 101 Creative Notes karangan Yoris Sebastian. Buku itu berisikan tips agar kita bisa menjadi kreatif, tetap kreatif, lebih kreatif serta menghilangkan borring yang bisa menghambat kreativitas. Dari 101 tips yang diberi, saya suka dengan yang satu ini.

Ingatan saya langsung kembali pada belasan tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya bersyukur, dulu sering mendapat nilai seratus. Nilai seratus itu memotivasi saya untuk belajar lebih giat agar terus mengantongi angka emas itu. Untuk setiap soal yang diberikan, saya selalu berusaha benar. Jika ada kesalahan yang membuat saya gagal mengantongi nilai 100, itu membuat saya sangat menyesali kesalahan itu. Hhmm...saya takut salah.

Ternyata ada dampak negatif, jika kita membiarkan si "anak" memiliki rasa takut salah. Dalam konteks ini bukan berarti membuat kesalahan yang merugikan orang lain, tetapi rasa takut jika menjadi tidak perfect. Si anak akan takut untuk mencoba hal-hal baru, akhirnya si anak akan sulit untuk menjadi kreatif.

Saya juga sering menemukan orang tua yang menuntut anaknya mendapatkan nilai sempurna. Bahkan dulu pernah ada seorang siswa yang menangis tidak mau pulang karena nilai ulangannya hari itu 70. Ketika saya bertanya akan hal itu, si anak menjawab " nanti mama saya akan marah di rumah, karena saya tidak dapat nilai 100". Parahnya lagi, pernah juga dia meminta saya untuk memberinya nilai seratus. "Bu..kemarin saya dipukul mama karena nilai saya 50, hari ini kasih saya nilai 100 lagi ya Bu, supayaa tidak dipukul lagi"

Saya melakukan pendekatan kepada orang tuanya. Si Ibu membenarkan cerita anaknya, dia memang menginginkan anaknya mendapat nilai bagus di sekolah, dengan dalih supaya anaknya pintar dan kelak kehidupan anaknya lebih baik dari pada dirinya yang hanya pedangang mie. Dengan bangga si Ibu menceritakan ketegasan yang dibuatnya untuk anaknya. "Pulang sekolah, saya suruh dia ganti baju dan makan, kemudian langsung kerjakan PR dan belajar. Sekali-sekali saya intip dia, kalau-kalau dia tidak belajar atau malah ketiduran. Kalau ketiduran, awas saja dia akan terima....dari saya". Saya kaget mendengar cerita itu, "jadi Ibu dimana saat dia belajar?" "Ya saya di warung depan, kan jualan mie" jawab si ibu dengan entengnya.

Saya tersenyum hambar, jadi anak usia 7 tahun itu dituntut nilai sempurna tanpa didampingi belajar oleh orang tuanya. Bisa dimaklumi memang, kondisi keluargaanya sehingga dia tidak punya banyak waktu untuk mendampingi anaknya, atau membayar les untuk anaknya. Tapi setidaknya dia punya waktu dan perhatian sedikit dan tidak perlu menuntut sesempurna itu. Akhirnya si anak selalu takut jika diberi soal-soal.

Lain lagi dengan seorang anak yang memang terlahir dari keluarga kaya. Si orang tua telah menanamkan cita-cita tinggi pada anaknya, sehingga anaknya mau tidak mau, harus lebih pintar dari yang lain. Si anak tidak punya waktu bermain, karena telah habis untuk sekolah dan les. Orang tuanya merasa berhak menyalahkan si anak, jika tidak mendapatkan nilai 100, karena si anak sudah belajar dengan sangat maksimal. Si anak jadi tidak bisa menerima kesalahan yang membuat nilainya kurang dari 100.

Mindset itu akan sangat merugikan jika tetap tertanam sampai dewasa. Terlalu banyak hal-hal baru saat ini yang bisa kita coba untuk meningkatkan kualitas hidup. Kalau tidak dicoba, kita tidak akan pernah mendapatkannya.


Jika kita adalah pendidik, tanamkan pikiran untuk terus mencoba menjadi lebih baik pada si anak, bukan harus sempurna.

Jika kita adalah orang tua, jangan tuntut anak menjadi sempurna, tapi katakan bahwa kita akan bangga jika mereka terus berusaha untuk menjadi lebih baik.

Jika kita adalah anak yang terlanjur memiliki mindset "takut salah", tanamkan di pikiran bahwa "nobody is perfect" tapi ada pilihan untuk "menjadi lebih baik"

Jika kita adalah orang yang "it is ok to be wrong", lanjutkan dan selamat berkreativitas !

No comments:

Post a Comment